Senin, 27 Februari 2012

Makalah Ilmu Kalam
 Oleh; Mohammad Ali


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Al-Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebenarnya penyebutan Ahlus sunnah itu sudah dipakai orang sejak jauh sebelum Imam Al-Asy’Ari, yaitu terhadap orang-orang yang mencari penyelesaian masalah-masalah agama yang berpegang teguh kepada nash-nash Al-Qur’an dan Hadis nabi. Mereka ini semula dikenal dengan sebutan Ahlul Hadits, yang sudah dimulai sejak zaman sahabat, dan berlanjut pada masa tabi’in.
Disamping itu ada golongan Ahlur Ra’yi, orang-orang yang sangat berpegang teguh kepada hasil pemikiran. Akal pikirannya yang didahulukan,bukan mencari penyelesaian masalah berdasarkan tuntunan Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Mereka itu ialah orang-orang Mu’tazila, Qadariyah, dan pihak-pihak yang sepaham dengannya. Corak pemikiran Mu’tazilah dalam lapangan akidah bersifay rasional dan terng-terangan menolak Hadits-Hadist Nabi yang menurut pendapatnya berlawanan dengn pemikiran rasional. Maka timbullah kelompok yang menentang paham Mu’tazila yang rasional itu, yang selanjutnya dikenal dengan nama “Ahlus Sunnah”. sementara Sistem  pemikiran Al-Maturidi tidak berbeda banyak dengan Al-Asy’Ari. Banyak segi persamaannya, dan ada juga perbedaannya, Al-Asy’Ari tampak lebih dekat ke paham Jabariyah, sedangkan Al-Maturidi tampak lebih dekat ke paham Qadariyah dan membela kepercayaan-kepercayaan sunni.

1.2  Rumusan Masalah
1.Bagai mana Latar belakang lahirnya faham Asy’ariyah dan Al Maturidiyah?
2.Apa Doktrin-doktrin Teologi Al Asy’ari dan Al Maturidi?


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Latar Belakang Lahirnya Al Asy’Ari
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah. Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah. Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.
Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah dengan menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan—manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
Al-Asy’ari yang semula berpaham Mutazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Abu Ali Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan). Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Rasulullah SAW. Rasulullah memperingatinya agar meninggalkan faham Mu’tazilah.  Dan beliau bersabda dalam mimpinya kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari untuk memikirkan hal itu, Lalu pada hari jum’at, dia naik mimbar di masjid Basrah, secara resmimenyatakaan pendiriannya keluar dari Mu’tazila. Hal itu terjadi pada tahun 300 H. Adapun isi khotbahnya adalah sebagai berikut:
“Wahai masyarakaat, barang siapa mengenal aku, sungguh dia telah mengenalku. Barang siapa yang tidak mengenal aku,maka aku mengenalnya sendiri. Aku adalah Fulan Bin Fulan. Dulu aku berpendapatbahwa Al-Quran adalah Mahluk, bahwa sesungguhnya Allah tidak melihat dengan mata, bahwa perbuatan-perbutan yang jelek aku sendiri yamg memperbuatnya. Aku bertaubat mencabut dan menolak faham-faham Mu’tazilah dan keluar dari padanya”.
Adapun sebab penting mengapa Al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah ialah karena adanya perpecahan yang dialami kaum muslimin yang bisa menghancurkan mereka sendiri, seandainya tidak segera di akhiri.sebagai seorang muslim yang sangat mendambakan atas kepersaruan ummat, dia sangat khawatir kalau Al-Quran dan Al Hadits menjadi kurban dari faham-faham Mu’tazila yang dianggapnya semakin jauh dari kebenaran, menyesatkan dan meresahkan masyarakat. Hal ini disebabkan karena mereka terlalu menonjolkan akal fikirannya. Karena itu, Al Asy’ari lalu mengambil jalan tengah antara golongan rasional (Mu’tazila) dan golongan tekstualis (ahli hadits antropomorfis). Ternyata langkah jalan tengah tersebut dapat diterima oleh mayoritas ummat islam.



2.2 Latar Belakang Lahirnya Al Maturidi
            Aliran ini di nisbatkan kepada Imam Al Maturidi. Nama lengkapnya: Abu Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi lahir di Samarkand pada pertengahan ke dua dari abad ke sembilan Masehi dan meninggal di tahun 944 Masehi. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan faham-faham teologinya banyak persamaannya dengan faham-faham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi Ahli Sunnah dan dikenal dengan nama al-Maturidiyah. Sebagai pengikut Abu Hanifah yang banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaannya, al-Maturidi banyak pula memakai akal dalam teologinya. Oleh karena itu diantara teologinya dan teologi yang ditimbulkan oleh al-Asy’ari terdapat perbedaan, sungguhpun keduanya timbul sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazilah. Al Maturidi itu adalah sebaya dengan Al Asy,Ari. Hanya saja beda tempat tinggal, Al Asy’Ari hidup di Basrah Irak, pengikut mazhab syafi’i, sedangkan Al Maturidi bertepat tinggal di samarkand, pengikut mazhab Hanafi.
Siastem berfikir Al Maturidi tidak berbeda banyak dengan Al Asy’Ari. Banyak segi-segi persamaannya,  mereka berbeda pendapat masalah Takdir. Al Asy’ari tampak lebih dekat kepada Jabariah, sedangkan Al Maturidi tampak lebih dekat kepada Qadariah. Persamaannya, keddua-dua nya gencar menentang Mu’tazila dan membela kepercayaan-kepercayaan yang ada dalam Al-Quran dan Al-Hadits Perbedaan lain,  Al Asy’Ari beroendapat bahwa makrifat kepada Allah adalah berdasarkan tuntunan syara’, sedangkan Al Maturidi berpendapat hal itu diwajibkan oleh akal fikiran.
2.3  Doktrin-Doktrin Teologi Al Asy’Ari
1.      Tuhan danSifat-Sifatnya
Al-Asy’Ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifai-sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an, seperti mempunyai tangan, dan kaki, dan ini tidak boleh diartika secara harfiah,melainkan secara simbolis. Selanjutnya Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik hingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetpi sejauh menyangkut realitasnya(hakikatnya)tidak terpisah dari esensinya.
2.      Kebesaran Dalam Berkehendak
Dari dua pendapat ekstrim, yakni jabariyah yang fatalistik dan menganut faham pradeterminisme semata-mata dan Mu’tazila yang menganut fahamkebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri, Al-Asy’Ari membedakan antara halik dan kabs. Menurutnya, Allah adalah pencipta perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya. Hanya Allah yang mampu menciptakan segala sesuatu.
3.      Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk
Walaupun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazila mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kotradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, serta Mu’tazila mengutamakan akal.
Dalam membedaakan baik buruk pun terjadi perbedaan pendapat antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus bersandar pda wahyu,sedangkan Mu’tazila mendasarkannya pada akal.
4.      Qadimnya Al-Qur’an
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan kodimnya Al-Qur’an. Mu’tazila yang mengatakan bahwa Al-Qur’an diciptakan sehingga tidak Qadim,serta pandangan Hambali dan Zahiriyah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah,?(yang qadim tidak diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata, dan bunyi Al-Qur’an adalah qadim. Dalam rangka mendamaikankedua pendangan yang saling bertentangan itu, Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim.
5.      Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstri, terutama Zuhiriyah, yang mengatakan bahwa Allah dapat diakhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu,ia tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengkari Ru’yatullah(melihat Allah) di Akhirat. Al-Asy’ari yaakian bahwa Allah dapat dilihat di Akhirat, tetapi tidak digambarkan.. kemungkinan Ru’yat dapat terjadi mana kala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bila mana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihatnya.
6.      Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya beda pendapat dalam memandang makna keadilan. Mu’tazila mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
7.      Kedudukan Orang Berdosa
Al-Asy’ari  menolaak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah. Mengingat kenyataaan bahwa iman merupakan lawan kufr,  jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr.
2.4  Doktrin-Doktrin Teologi Al-Maturidi
1.      Akal dan Wahyu
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal. Dalam hal ini, ia sama dengan Al-Asy’ari. Namun porsi yang diberikannya kepada akal lebih besar dari pada yang diberikan oleh Al-Asy’ari.
Menurut Al-Maturidi, mengetahui tuhandan kewajiban mengetahui tuhan dapat diketahui dengan akal.namun akal menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lain. Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri,sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanya mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam hal ini Al-Maturidi sependapat dengan Mu’tazila. Hanya saja bila biala Mu,tazila mengatakan bahwa perintah melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk itu didasarkan pada pengetahuan akal. Dalam persoalan ini Al-Maturidi berbeda pendapat dengan Al-Asy’ari. Menurut Al-Asy’ari, baik atau buruk itu tidak terdapat pada sesuatu itu sendiri. Sesuatu itu dipandang  baik karena perintah syara dan dipandang buruk kerena larangan syara. Pada konteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mu’tazilah dan Al-Asy’air.
2.      Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Telah diuraikan diatas bahwa perbutan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi, pernyataan ini menurut Al-Matuirdi bukan berarti bahwa Tuhan berbuat dan berkehendak dengan sewenang –wenang serta sekehendaknya semata. Hal ini karena qudrat Tuhan tidak sewenang-sewenang, tetapi perbuatan dan kehendaknya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkannya sendiri.
3.      Sifat Tuhan
Al-Maturidi dan Al-Asy’ari. Keduanya berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama, bashar,  dan sebainya.  Al-Asy’ari mengartikan sifat tuhan sebagai suatu yang bukan dzat, melainkan melainkan melekat pada dzat itu sendiri,sedangkan Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensinya dan bukan pula lain dari esensinya.
4.      Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat tuhan. Al-Maturidi lebih lanjut mengataka bahwa tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immateril, namun melihat Tuhan, kelak diakhirat tidak dalam bentuknya, karena keadaan diakhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.
5.      Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi(sabda yng sebenarnya atau makna abtrak). Menurut Al-Maturidi, Mu’tazila memandang Al-Qur’an sebagai yang tersusun dari huruf-huruf dan kata-kata, sedangkan Al-Asy’ari memandangnya dari segi makna abtrak. Kalam Allah Menurut Mu’tazila bukan merupakan sifatnya dan bukan pula dari dzatnya. Al-Qur’an sebagai sabda Tuhan bukan sifat, tetapi perbuatan yang diciptakan Tuhan dan tidak bersifat kekal.pendapat ini diterima Al-Maturidi, hanya saja Al-Maturidi lebih suka menggunakan istilah hadiys sebagai pengganti mahluk untuk sebutan Al-Qur’an. Dalam konteks ini, pendapat Al-Asy’ari juga memiliki kesamaan dengan pendapat Al-Maturidi, karena yang dimaksud Al-Asy’ari dengan sabda adalah makna abtraktidak lain dari kalam nafsi menurut Al-Maturidi dan itu memang sifat kekal Tuhan.
6.      Perbuatan Manuusia
Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak tuhan, kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendaknya sendiri. menurut Al-Maturidi, akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa mengikuti ajaran wahyu berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada diluar kemampuannya kepada akalnya.
Pandangan Al-Maturidi ini tidak jauh berbeda dengan pandangan Mu’tazila yang berpendapat bahwa pengutusan rasul kertngah-tengah ummatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupan.
7.      Pelaku Dosa Besar(Murtakib Al-Kabir)
Menurut Al-Maturidi bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal didalam neraka walaupun iamati sebelum bertobat, hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.
Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali hanya menambah atau mengurangi sifatnya saja.
                                

BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok pahan teologi Asy’ariyah ataupun Maturidiyah.
Asy'ariyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.
Sebenarnya, antara Asy’ariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki beberapa perbedaan, di antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut:
1)      Tentang sifat Tuhan
Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.
2)      Tentang Perbuatan Manusia
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujdukan oleh manusia itu sendiri.
3)      Tentang Al-Quran
Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.
4)      Tentang Kewajiban Tuhan
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.
5)      Tentang Pelaku Dosa Besar
Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.
6)      Tentang Janji Tuhan
Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat jahat.
7)      Tetang Rupa Tuhan
Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah. Sedangkan persamaan dari kedunya, Al-Asy’ari dan Al-Maturidi adalah sama-sama menentang ajaran Mu’tazila.

DAFTAR PUSTAKA

1.      A.Nasir, Sahilun,Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: Rajawali Pers, 1996
2.      A.Nasir, Sahilun,Pemikiran Kalam, Jakarta: Rajawali Pers, 2010
3.      Rozak, Abdul, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar