Rabu, 29 Februari 2012

Profil Pribadi

Nama panjang              : Muhammad Ali

Nama Panggilan            : Ali atau Memet

TTL                             : Sumenep, 30 Juni 1992

Alamat                         : Sumenep, Sapudi, Jl. Kramat Wirokromo Blingi

Jenis Kelamin               : Laki-Laki

Agama                         : Islam Turunan

Negara                        : Indonesia

 Pendidikan                  : SD Prambanan II
                                     SMP Negri I Gayam
                                     SMA Negri I Gayam
                                     Sekarang Kuliah di IAI Nurul Jadid Sekaligus Santri Aktif

Hobi                             : Baca Buku, Diskusi, dan mencaeri pemgalaman baru

Cita-Cita                      : menjadi orang penting yang dapat membantu masyarakat terutama kedua orang Tua.

Pengalaman Terindah    : saat kumpul sama temen-temen KKPS, sllu ada ja ide dan cnda tawa yang mendidik dari temen-temen apa lagi pas ada seneor tambah memberikan motifasi sehingga kita selalu semangat dalam menambah khazanah ilmu pengetahuan, apa lagi kegiatan yang lain seprti bakar-bakar, jalan bareng, dan tamassya bareng, poko'nya tidak dapat di sebutin.

Pesan                            : Kita harus selalu bahagia dalam hidup dan selalu bersyukur baik dalam keadaan senang maupun susah, karena dalam Hadis dijelaskan bahwa " kekayaan yang sejati adalah ketenangan jiwa" dan imbangilah hidup ini antara dunia dan Akhirat dengan itu kita akan jadi orang yang sejati, tidak hanya tau tentang kehidupan dunia saja tetapi kita harus tau kehidupan akhirat karena akhirat adalah alam yang kekal alam kedua setelah dunia bagi manusia.

Senin, 27 Februari 2012

Pengantar Filsafat
 Oleh; Mohammad Ali

BAB I
PENDAHULUN
Bangsa Yunani merupakan bangsa yang pertama kali berusaha menggunakan akal untuk berpikir. Kegemaran bangsa Yunani merantau secara tidak langsung menjadi sebab meluasnya tradisi berpikir bebas yang dimiliki bangsa Yunani.
Menurut Barthelemy, kebebasan berpikir bangsa Yunani disebabkan di Yunani sebelumnya tidak pernah ada agama yang didasarkan pada kitab suci. Keadaan tersebut jelas berbeda dengan Mesir, Persia, dan India. Sedangkan Livingstone berpendapat bahwa adanya kebebasan berpikir bangsa Yunani dikarenakan kebebasan mereka dari agama dan politik secara bersamaan.
Pada masa Yunani kuno, filsafat secara umum sangat dominan, meski harus diakui bahwa agama masih kelihatan memainkan peran. Hal ini terjadi pada tahap permulaan, yaitu pada masa Thales (640-545 SM), yang menyatakan bahwa esensi segala sesuatu adalah air, belum murni bersifat rasional. Argumen Thales masih dipengaruhi kepercayaan pada mitos Yunani. Demikian juga Phitagoras (572-500 SM) belum murni rasional. Ordonya yang mengharamkan makan biji kacang menunjukkan bahwa ia masih dipengaruhi mitos. Jadi, dapat dikatakan bahwa agama alam bangsa Yunani masih dipengaruhi misteri yang membujuk pengikutnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa mitos bangsa Yunani bukanlah agama yang berkualitas tinggi.
Secara umum dapat dikatakan, para filosof pra-Socrates berusaha membebaskan diri dari belenggu mitos dan agama asalnya. Mereka mampu melebur nilai-nilai agama dan moral tradisional tanpa menggantikannya dengan sesuatu yang substansial.


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Aliran Miletos/Madzhab Milesian
Aliran ini disebut Aliran Miletos karena tokoh-tokohnya merupakan warga asli Miletos, di Asia Kecil, yang merupakan sebuah kota niaga yang maju. Berikut beberapa tokoh yang termasuk kedalam Aliran Miletos atau dikenal pula dengan istilah Madzhab Milesian:
1.    Thales
Thales hidup sekitar 624-546 SM. Thales disebut-sebut sebagai bapak filsafat Yunani sebab dialah orang yang mula-mula berfilsafat. Namun sayang,  filsafatnya tidak pernah ditulisnya sendiri, hanya disampaikan dari mulut ke mulut melalui murid-muridnya.
Thales adalah orang yang suka berkelana. Pernah pada suatu saat dia berkelana ke Mesir, dikatakan bahwa ia pernah menghitung tinggi sebuah piramid. Ada yang mengatakan bahwa Thales menggunakan kepintarannya dalam ilmu pasti dan ilmu astronomi sebagai ahli nujum dan akhirnya ia kaya raya. Dia juga dikisahkan pernah meramalkan secara tepat terjadinya gerhana matahari pada 585 SM. Ia adalah seorang ahli ilmu termasuk ahli ilmu Astronomi.
Thales beranggapan bahwa sumber dari segala sesuatu adalah air. Air adalah sebab yang pertama dari segala yang ada dan jadi dan akhir dari segala yang ada. Di awal air, di ujung air. Pandangannya menghubungkan semua yang ada di alam ini dengan air. Air asal dan akhir.
Bumi sendiri menurut Thales merupakan bahan yang sekaligus keluar dari air dan kemudian terapung-apung diatasnya. Pandangan yang demikian itu membawa kepada penyesuaian-penyesuain lain yang lebih mendasar yaitu bahwa sesungguhnya segalanya ini pada hakikatnya adalah satu. Bagi Thales, air adalah sebab utama dari segala yang ada dan menjadi ahir dari segala-galanya.
Ajaran Thales yang lain adalah bahwa tiap benda memiliki jiwa. Itulah sebabnya tiap benda dapat berubah, dapat bergerak atau dapat hilang kodratnya masing-masing.  Ajaran Thales tentang jiwa bukan hanya meliputi benda-benda hidup tetapi meliputi benda-benda mati pula.
2. Anaximander
Anaximander adalah murid Thales yang setia. Ia hidup sekitar 610-546 SM. lebih muda lima belas tahun dari Thales, tapi meninggal dunia dua tahun lebih dulu dari Thales. Meskipun ia murid Thales, namun Anaximandros mempunyai prinsip alam yang berbeda dari gurunya. Ia berpendapat bahwa hakikat dari segala seuatu yang satu itu bukan air, tapi yang satu itu adalah yang tidak terbatas dan tidak terhingga, tak berubah dan meliputi segala-galanya yang disebut “Aperion”. Aperion bukanlah materi seperti yang dikemukakan oleh Thales. Anaximander juga berpendapat bahwa dunia ini hanyalah salah satu bagian dari banyak dunia lainnya.
Jika melihat sifat-sifat yang diberikan oleh Anaximandros tentang apeiron yaitu sebagai sesuatu /zat yang tak terhingga, tak terbatas, tak dapat diserupakan dengan alam, maka barangkali yang ia maksud dengan apeiron adalah Tuhan.
3.    Anaximenes
             Anaximenes hidup sekitar 560-520 SM. Anaximenes adalah salah seorang murid Anaximandros. Ia adalah filosof alam terakhir dari kota Miletos. Dalam pandangan tentang asal muasal, Anaximenes turun kembali ke tingkat yang sama dengan Thales. Kedua-duanya berpendapat, yang asal itu mestilah sesuatu dari yang ada dan kelihatan. Bedanya, kalau Thales mengatakan air adalah asal dan kesudahan dari segala-galanya, Ia berpendapat bahwa hakikat segala sesuatu yang satu itu adalah udara. Jiwa adalah udara; api adalah udara yang encer; jika dipadatkan pertama-tama udara akan menjadi air, dan jika dipadatkan lagi akan menjadi tanah, dan ahirnya menjadi batu. Ia berpendapat bahwa bumi berbentuk seperti meja bundar.
Sebagai kesimpulan ajarannya, Anaximenes mengatakan bahwa sebagaimana jiwa kita, yang tidak lain adalah udara, menyatukan tubuh kita, demikian pula udara mengikat dunia ini menjadi satu. Maka ia menjadi filosof yang pertama kali memperbincangkan jiwa dalam pandangan filsafat. Hanya saja, Anaximenes tidak melanjutkan pikirannya kepada soal penghidupan jiwa. Dan memang ini di luar garis filosofi alam.
B.   Aliran Pythagoras
1.       Pythagoras
 Pythagoras lahir di Samos Pythagoras dilahirkan di Samos sekitar 580-500 SM, tetapi kemudian pindah ke Kroton, Italia Selatan. Di kota ini, Pythagoras mendirikan sebuah tarekat keagamaan yang disebut-sebut orang kaum Pythagoras. Mereka diam dan menyisihkan diri dari masyarakat. Tarekat ini mendidik kebatinan dengan mesucikan ruh.
Menurut kepercayaan Pythagoras, manusia itu asalnya Tuhan. Selain itu, Ia berpendapat bahwa semesta ini tak lain adalah bilangan. Unsur bilangan merupakan prinsip unsur dari segala-galanya. Dengan kata lain, bilangan genap dan ganjil sama dengan terbatasa dan tak terbatas.
 Dapat dikatakan bahwa ajaran tentang bilangan ini adalah batu sendi seluruh pandangan hidup Pythagoras.
Dari sini dapat dilihat kecakapan Pythagoras dalam matematika mempengaruhi pemikiran filsafatnya sehingga pada segala keadaan ia melihat dari angka-angka dan hubungan antara angka-angka tersebut.
2.       Xenophanes
Xenophanes merupakan pengikut Aliran Pythagoras yang lahir di Kolophon, Asia Kecil, sekitar tahun 545 SM. Dalam filsafatnya ia menegaskan bahwa Tuhan bersifat kekal, tidak mempunyai permulaan dan Tuhan itu Esa bagi seluruhnya. Ke-Esaan Tuhan bagi semua merupakan sesuatu hal yang logis. Hal itu karena kenyataan menunjukkan apabila semua orang memberikan konsep ketuhanan sesuai dengan masing-masing orang, maka hasilnya akan bertentangan dan kabur. Bahkan “kuda menggambarkan Tuhan menurut konsep kuda, sapi demikian juga” kata Xenophanes. Jelas kiranya ide tentang Tuhan menurut Xenophanes adalah Esa dan bersifat universal.
3.        Heraklitus (Herakleitos)
Heraklitos hidup antara tahun 560-470 SM di Italia Selatan sekawan dengan Pythagoras dan Xenophanes. Ia mengatakan bahwa asal segala sesuatu adalah api dan api adalah lambing dari perubahan. Api yang selalu bergerak dan berubah menunjukkan bahwa tidak ada yang tetap dan tidak ada yang tenang Selain itu, Heraklitos juga mengatakan segala sesuatu mengalami perubahan terus-menerus dan selalu bergerk, tidak ada yang menetap. Karena itu, kita “tidak dapat melangkah dua kali ke dalam sungai yang sama.” Kalau saya melangkah ke dalam sungai untuk kedua kalinya, maka saya atau sungainya sudah berubah. Ia juga mengatakan bahwa dunia ini dicirikan dengan adanya kebalikan.
Heraklitos sering menggunakan kata Yunani logos yang berarti akal sebagai kata pengganti untuk kata Tuhan atau Dewa
C. Aliran Elea
1. Parmenides
 Lahir sekitar tahun 540-475 di Italia Selatan. Parmenides hidup sezaman dengan Heraklitos akan tetapi ia berasal dari Elea dan berpandangan yang sangat kontras dengan Heraklitos. Parmenides menegaskan bahwa tidak ada sesuatu yang dapat berubah. Baginya, kenyataan bukanlah gerak dan perubahan melainkan keseluruhan yang bersatu.  justru hakekat sesuatu adalah perubahan. Arti besar Parmenides ialah, bahwa ia menemukan secara mendalam idea tau gagasan tentang “ada.” “Yang ada itu ada.” Oleh karena “yang tidak ada” tidak dapat dipikirkan, dan hanya “yang ada” yang dapat dipikirkan, maka berada dan berpikir adalah sama.
            Dalam pandangan Pamenides ada dua jenis pengetahuan yang disuguhkan yaitu pengetahuan inderawi dan pengetahuan rasional. Apabila dua jenis pengetahuan ini bertentangan satu sama lain maka ia memilih rasio. Dari pemikirannya itu membuka cabang ilmu baru dalam dunia filsafat yaitu penemuannya tentang metafisika sebagai cabang filsafat yang membahasa tentang yang ada.
2. Zeno
Lahir di Elea sekitar 490 SM. Zeno adalah murid Parmenides yang mencoba membuktikan bahwa gerak adalah suatu khayalan dan tiada kejamakan dan ruang kosong. Ada bermacam alasan yang ia kemukakan untuk membuktikan bahwa gerak adalah suatu khayalan, di antaranya adalah:
 Anda tidak akan pernah mencapai garis finish dalam suatu balapan kalau tidak menempuh separuh jarak, lalu setengah dari separuh jarak, kemudian setengah dari sisa, setengah dari sisa, setengah dari sisa, kemudian anda hanya akan menghabiskan sisa yang tidak pernah habis. Anak panah yang meluncur dari busurnya, apakah bergerak atau diam? Kata Zeno, diam.
Diam adalah bila suatu benda pada suatu saat berada pada suatu tempat. Anak panah itu setiap saat berada di suatu tempat, jadi anak panah itu diam, padahal kita jelas-jelas menyaksikan bahwa anak panah itu bergerak dengan cepat, akan tetapi Ajarannya yang penting dari filosof Zeno adalah pemikirannya tentang dialektika. Dialektika adalah satu cabang filsafat yang mempelajari argumentasi.
3. Melissos
Lahir di Samos tanpa diketahui secara tepat tanggal kelahirannya. Ia berpendapat bahwa “yang ada” itu tidak berhingga, maka menurut waktu maupun ruang. 
D. Aliran Pluralis
1. Empedokles
            Lahir di Akragas Sisislia awal abad ke-5 SM. ia menulis buah pikirannya dalam bentuk puisi. Ia mengajarkan bahwa realitas tersusun dari empat anasir yaitu api, udara, tanah, dan air.
2. Anaxagoras
Lahir di Ionia di Italia Selatan. Ia berpendapat bahwa realitas seluruhnya bukan satu tetapi banyak. Yang banyak itu tidak dijadikan, tidak berubah, dan tidak berada dalam satu ruang yang kosong. Anaxagoras menyebut yang banyak itu dengan spermata (benih). 
E. Aliran Atomis
    Pelopor atomisme ada dua yaitu Leukippos dan Demokritos. Ajaran aliran filsafat ini ikut berusaha memecahkan masalah yang pernah diajukan oleh aliran Elea. Aliran ini mengajukan konsep mereka dengan menyatakan bahwa realitas seluruhnya bukan satu melainkan terdiri dari banyak unsur. Dalam hal ini berbeda dengan aliran pluralisme maka aliran atomisme berpendapat bahwa yang banyak itu adalah “atom” (a = tidak, tomos = terbagi).
1.    Leukippos (± 540 SM)
Sejarah hidupnya hampir tak dikenal namun dia adalah ahli pikir yang pertama kali mengajarkan tentang atom. Menurut pendapatnya tiap benda terdiri dari atom. Yang dipakai sebagai dasar teorinya tentang atom ialah: yang penuh dan kosong. Atom dinamainya sebagai yang penuh sabagai benda betapapun kecilnya dan bertubuh. Setiap yang bertubuh mengisi lapangan yang kosong.
Ia juga menyatakan tentang tidak mungkinnya ada penciptaan dan pemusnahan mutlak, akan tetapi ia tidak menolak kenyataan banyak, bergerak, lahir ke dunia dan menghilang yang tampak pada segala sesuatu.
2.    Demokritos (460-360 SM)
            Demokritos berasal dari kota kecil Abdera di pantai utara Aegea. Demokritos adalah murid Leukippos dan sama berpendapat bahwa alam ini terdiri dari atom-atom yang bergerak-gerak tanpa akhir, dan jumlahnya sangat banyak. Bagi Demokritos, adalah sangat penting untuk menekankan bahwa bagian-bagian pokok yang membentuk segala sesuatu tidak mungkin dibagi secara tak terhingga menjadi bagian-bagian yang lebih kecil lagi.
Teori atom Demokritos menandai berakhirnya filsafat alam Yunani. Dia setuju dengan Heraklitos bahwa segala sesuatu di alam ini mengalir, sebab bentuk-bentuk itu datang dan pergi.
F. Aliran Sofis
Sofisme berasal dari kata sofis yang berarti cerdik, pandai dan kemudian berkembang artinya menjadi bersilat lidah. Sebab cara menyampaikan filsafatnya kaum sofis berkeliling ke kota-kota dan ke pasar-pasar. Para pemudanya juga dilatih berdebat dan berpidato.
Pokok-pokok ajaran kaum sofis adalah:
1) Manusia menjadi ukuran segala-galanya
2) Kebenaran umum (mutlak) tidak ada
3) Kebenaran hanya berlaku sementara
4) Kebenaran tidak terdapat pada diri sendiri
Tokoh-tokoh Sofisme antara lain adalah Phytagoras, Hippias, dan Gorgias.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Filsafat Yunani dalam sejarah filsafat merupakan tonggak pangkal munculnya filsafat. Di wilayah Yunani, sekitar abad VI SM, muncul pemikir-pemikir yang disebut filosof alam. Dinamakan demikian karena objek yang dijadikan pokok persoalan oleh mereka adalah mengenai alam (cosmos). Dengan kata lain, mereka hanya menaruh perhatian pada alam dan proses-prosesnya.
Pada saat itu, pemikiran tersebut dianggap merupakan pemikiran yang maju, rasional, dan radikal karena kebanyakan orang hanya menerima begitu saja keadaan alam seperti apa yang ditangkap dengan indranya atau dari cerita nenek moyang mereka atau legenda-legenda, tanpa mempersoalkannya lebih jauh.
Para filosof alam ini juga disebut filosof pra-Socrates, sebab mereka hidup sebelum zaman Socrates. Mengapa sejarah filsafat membagi dunia filsafat secara umum menjadi filsafat pra-Socrates dan Socrates? Antara lain adalah karena Socrates dianggap mewakili suatu era baru, secara geografis maupun temporal, dan banyak memberikansumbangsih pemikiran bagi Filosof seterusnya.

Saran-Saran
Setiap karya adalah bukti sejarah dari adanya kehidupan sebelumnya, banyak Pemikir-pemikir yang kita lupakan bahkan tidak tau apa dan bagaimana pergulatan pemikiran pada zaman dulu yaitu PraSocrates ini, banyak pemikiran yang tidak sesuai dengan pemikiran kita, tetapi bagaimana kita harus mereduksi pemikiran-pemikiran dari para filosof sebagai pengembang hazanah intelektual kita.


DAFTAR PUSTAKA
v  Noor, Hadian. Pengantar Sejarah Filsafat. Malang: Citra Mentari Group. 1997.
v  Osborne, Richard. Filsafat Untuk Pemula.  Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2001.
v  Russell, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.
v  Turnbull, Neil. Bengkel Ilmu Filsafat. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2005.
ETIKA Menurut Imam Al-Ghazali
Oleh; Muhammad Ali

Selayang Pandang
Moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan, etika bertindak sebagai rambu-rambu yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (batasan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras dan serasi. Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggota-anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan.
Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya. Karena untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antar semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sedangkan pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa untuk diwujudkan. Jadi jelas, untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.
Etika sebagai ajaran baik-buruk, benar-salah atau ajaran tentang moral khususnya dalam prilaku dan tindakan-tindakan ekonomi, bersumber terutama dalam ajaran agama. Itulah sebabnya banyak ajaran dan paham dalam ekonomi barat menunjuk pada kitab injil (bibel) dan etika ekonomi Yahudi banyak menunjuk pada Taurat. Demikian pula etika ekonomi Islam termuat dalam lebih dari seperlima ayat-ayat yang dimuat dalam Al Qur’an. Namun jika etika agama Kristen-protestan telah melahirkan semangat (spirit) kapitalisme, jika kapitalisme menonjolkan sifat individualisme dari manusia, dan sosialisme pada kolektivisme, maka islam menekankan empat sifat sekaligus, yaitu kesatuan, keseimbangan, kebebasan dan tanggung jawab. Oleh karena itu dari sedikit prakata di atas penulis akan mencoba membahas tentang etika bisnis dalam pandangan Al Ghazali. Beliau seorang ulama besar yang sebagian orang mengenal dirinya sebagai seorang sufi padahal pandangan-pandangannya tentang ekonomi sudah tidak diragukan lagi.
A.  Biografi  Al Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Taus Ahmad al-Tusi al-Syafi’i. ia lahir pada tahun 450 H/1058 M di desa kecil bernama Ghazlah Thabran. Kota Thus wilayah Khurasan (Iran). Ayahnya meninggal ketika ia masih kanak-kanak. Kemudian bersama adiknya Ahmad, ia diasuh oleh teman ayahnya yang kebetulan seorang tasawuf. Sahabat ayahnya ini kemudian menyerahkan mereka kepanti asuhan yang didirikan oleh Perdana Mentri Nizamul Mulk dikota Thus. Disinilah Al Ghazali belajar ilmu fiqh kepada Imam Razaqani. Kemudian Al Ghazali pindah ke Naishabur dan belajar kepada Imam al-Juwaini yang dikenal Imam al-Haramain, seorang teolog Asy’ariyah. Disamping belajar ilmu fiqh kepada guru ini, ia juga belajar ilmu kalam. Dari Naisabur ia pindah ke Mu’askar dan berkenalan dengan Nizamul Mulk, Perdana Mentri Bani Saljuk.
Nizamul Mulk mengangkat Al Ghazali sebagai pengajar pada tahun 1091 M di Madrasah al-Nizamiyah Baghdad yang didirikan oleh Nizamul Mulk sendiri. Di kota Baghdad iniulah ia menjadi terkenal, khalaqah pengajiannya semakin ramai. Ia pun menulis banyuak karya ilmiah. Pada tahun 1095 M Al Ghazali meninggalkan kedudukannya yang terhormat di Baghdad, menuju Makkah. Kemudain untuk beberrapa waktu ia menetap di Damaskus, mengisolir diri untuk beribadat, berkontemplasi sebagai seorang sufipuncak menara masjid Jami’ Damaskus ia memperoleh kesempurnaan tasawufnya.
Diperkirakan dua tahun lamanya Al Ghazali tinggal di Damaskus. Disini pula ia mempunyai banyak kesempatan menulis karyanya yang monumental Ihya Ulum al-Din. Al Ghazali wafat pada tahun 1111 M di kota Thus, kota dimana ia dilahirkan. Pemikiran-Pemikiran Al Ghazali. Pada umunya orang mengenal Al Ghazali sebagai seorang ahli sufi terbesar, seorang ahli tasawuf yang membenci dunia. Tidak seorangpun menggambarkannya sebagai seorang politikus yang mempunyai konsepsi dalam soal kenegaraan dan pemerintahan. Tidak banyak dikenal bahwa Al Ghazali membicarakan soal-soal ekonomi apalagi menyebutkan soal-soal perbankan.
Namun demikian, Al Ghazali yang hidup abad ke-12 (450-505/1058-1111 M) membicarkan semuanya itu dengan cara-cara yang logis dan modern, yang analisisnya masih up to date untuk zaman ini. Bahkan, beliau membicarakannya dalam bukunya ihya ‘ulum al-din yang menjadi pegangan ahli-ahli tasawuf.
Al Ghazali dalam bukunya ihya ‘ulum al-din juz III hal 219 menyebutkan hakikat dunia yang terdiri dari tiga unsur yakni benda-benda (materi), adanya bagian manusia dan pembangunan. Ia mengatakan “ketahuilah, bahwa dunia ibarat dari adanya benda-benda (materi), adanya bagian masing-masing manusia dan perlunya masing-masing manusia sibuk membangun. Inilah tiga unsur yang diperlukan. Sebagian orang menduga bahwa dunia dapat berdiri dengan salah satu unsure, padahal bukanlah demikian”
Unsur utama yang dikemukakan Al Ghazali ialah perlu adanya materi bagi hidup manusia didunia ini. Kemudian disusul unsur yang kedua yakni masing-masing orang memiliki bagian dari segala materi itu. Lalu unsur terakhir yang lebih penting ialah manusia harus sibuk mengadakan pembangunan. Ketiganya tidak boleh dipisahkan harus saling mengisi dan saling berhubungan.
Pada bagian lain diterangkan bahwa manusia sering lalai dan mempermainkan unsur-unsur itu, sehingga diperlukan adanya peraturan untuk memelihara dunia sebaik-baiknya. Al Ghazali mengatakan “akan tetapi, karena kelalaian dan kejahilan manusia, Tuhan menjadikan peraturan dalam Negara dan kepentingan untuk rakyat, bahkan semua urusan dunia diberi peraturan karena kelalaian dan pemikiran yang rendah itu. Kalau semua orang berfikir sadar dan mempunyai kemauan baik tentulah semuanya menjadi orang-orang zuhud, orang-orang suci didunia ini. Kalau tidak demikian, terlantarlah segala jalan perekonomian dan menjadi rusaklah semua manusia, termasuk kaum zuhud yang suci itu”.
Al Ghazali mengajukan suatu teori saling ketergantungan yang dizaman kita ini dikenal dengan inter-dependence “setiap manusia dalam kebutuhan hidupnya, saling bergantung satu sama lain. Kaum produsen yang menghasilkan bahan makanan didesa memerlukan alat-alat industri yang dihasilkan oleh pabrik di kota, dan keduanya memerlukan kaum pedagang yang akan mengusahakan tukar menukar barang-barang yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak. Para konsumen memerlukan barang-barang dari pihak produsen. Mereka menjadi produsen karena menghasilkan macam-macam barang yang diperlukan, dan sekaligus menjadi konsumen karena memerlukan barang-barang yang dihasilkan oleh orang lain”
B.  Etika Al-Ghazali
Perdebatan teologi juga berimplikasi pada perdebatan tentang etika dalam Islam. Sebagian besar kontroversi bidang etika dalam filsafat Islam adalah bersumber dari perdebatan-perdebatan teologi yang paling pokok. Perdebatan antara kelompok Asy’ariyah dan Mu’tazilah adalah salah satu contoh yang pernah menghiasi sejarah pemikiran Islam.
Menurut kalangan Asy’ariyah, makna etika murni bersifat subyektif, bisa mempunyai makna apabila ada subyek (Allah). Satu-satunya tujuan bertindak moral adalah untuk mematuhi Allah. Bagi mereka, makna moralitas hanya bisa dipahami apabila mampu bertindak selaras dengan kehendak dan perintah Allah. Sedangkan kalangan Mu’tazilah berpendapat bahwa semua perintah Allah benar adanya, dan sifat benarnya terpisah dari perintah Allah. Dia memerintahkan kita untuk melakukan sesuatu yang benar lantaran memang benar adanya, berdasarkan landasan-landasan obyektif, bukan pada perintah Allah. Allah tidak dapat menunut kita untuk melakukan sesuatu yang benar karena aturan-aturan moralitas bukanlah ha-hal yang berada di bawah kendali-Nya.
Perdebatan dua madzhab tersebut masih berlanjut hingga kini. Kalangan Asy’ariyah memandang moralitas berada di bawah kontrol Tuhan, atau dengan pengertian lain moralitas itu mengandaikan agama. Akantetapi, kalangan Mu’tazilah berpandangan sebaliknya. Mereka memandang moralitas adalah sebuah tindakan rasional manusia dalam melihat mana yang baik dan mana yang buruk, tidak semata ditentukan oleh tuntutan agama.
Salah satu tokoh Asy’ariyah yang banyak mengembangkan teori etika di dunia Islam adalah al-Ghazali. Beliau menghubungkan wahyu dengan tindakan moral. Al-Ghazali menyarankan kepada kita untuk memandang kebahagiaan sebagai pemberian anugerah Tuhan. Al-Ghazali menganggap keutamaan-keutamaan dengan pertolongan Tuhan adalah sebuah keniscayaan dalam keutamaan jiwa. Jadi, dengan menerapkan istilah keutamaan kepada pertolongan Tuhan, Al-Ghazali bermaksud menghubungkan keutamaan dengan Tuhan. Tidak ada keutamaan lain yang dapat dicapai tanpa pertolongan Tuhan. Bahkan, al-Ghazali menegaskan bahwa tanpa pertolongan Tuhan, usaha manusia sendiri dalam mencari keutamaan sia-sia, dan dapat membawa kepada sesuatu yang salah dan dosa.
Rupanya, al-Ghazali ingin menyamakan pengertian etika atau moralitas sama halnya dalam teologi Islam. Menurut Amin Abdullah, al-Ghazali jatuh pada “reduksionisme teologis”. Artinya, al-Ghazali menempatkan wahyu al-Qur’an menjadi petunjuk utama --atau bahkan satu-satunya-- dalam tindakan etis, dan dengan keras menghindari intervensi rasio dalam merumuskan prinsip-prinsip dasar universal tentang petunjuk ajaran al-Qur’an bagi kehidupan manusia. Titik perbedaan antara filsafat etika al-Ghazali dan Kant terletak pada penggunaan rasionalitas. Al-Ghazali menyusun teori etika mistik, sedang Kant membangun sistem etika rasional yang teliti untuk menggantikan doktrin metafisika-dogmatik-spekulatif.
Menurut al-Ghazâlî akhlak adalah keadaan batin yang menjadi sumber lahirnya suatu perbuatan di mana perbuatan itu lahir secara spontan, mudah, tanpa menghitung untung rugi. Orang yang berakhlak baik, ketika menjumpai orang lain yang perlu ditolong maka ia secara spontan menolongnya tanpa sempat memikirkan resiko. Demikian juga orang yang berakhlak buruk secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang terbuka.
Etika atau akhlak menurut pandangan al-Ghazali bukanlah pengetahuan (ma’rifah) tentang baik dan jahat atau kemauan (qudrah) untuk baik dan buruk, bukan pula pengamalan (fi’il) yang baik dan jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap. Al-Ghazali berpendapat sama dengan Ibn Miskawaih bahwa penyelidikan etika harus dimulai dengan pengetahuan tentang jiwa, kekuatan-kekuatan dan sifat-sifatnya. Tentang klasifikasi jiwa manusia pun al-Ghazali membaginya ke dalam tiga; daya nafsu, daya berani, dan daya berfikir, sama dengan Ibn Miskawaih. Menurut al-Ghazali watak manusia pada dasarnya ada dalam keadaan seimbang dan yang memperburuk itu adalah lingkungan dan pendidikan. Kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan itu tercantum dalam syariah dan pengetahuan akhlak. Tentang teori Jalan Tengah Ibn Miskawaih, al-Ghazali menyamakannya dengan konsep Jalan Lurus (al-Shirât al-Mustaqîm) yang disebut dalam al-Qur’an dan dinyatakan lebih halus dari pada sehelai rambut dan lebih tajan dari pada mata pisau. Untuk mencapai ini manusia harus memohon petunjuk Allah karena tanpa petunjuk-Nya tak seorang pun yang mampu melawan keburukan dan kejahatan dalam hidup ini. Kesempurnaan jalan tengan dapat di raih melalui penggabungan akal dan wahyu.
Etika sosial Islam memiliki peran yang sangat besar bagi perbaikan atas kehidupan umat manusia. Etika sosial Islam mempunyai dua ciri yang sangat mendasar, yaitu keadilan dan kebebasan. Dua ciri ini penting untuk menggerakkan Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Perbuatan kita mesti diorientasikan pada tindakan-tindakan yang mengarah pada keadilan dan juga memandang kebebasan mutlak setiap individu. Karena, kebebasan individu ini berimplikasi pada tindakan sosial dan syariat kolektif.
Sudah semestinya, etika Islam tidak hanya dimaknai sebagai etika individual saja, tapi juga perlu dipahami sebagai ajaran sosial. Kehidupan umat manusia perlu dibangun dengan perspektif agama yang lebih memperdulikan pada persoalan-persoalan kemanusiaan dan keadilan. Jadi, Islam tidak semata diartikan sebagai ritualisasi ibadah dan etika individual semata, tapi juga sebagai agama yang penting untuk memperbaiki kehidupan sosial secara lebih luas.
C.  Teori Ekonomi Al Ghazali
Ketika membahas tentang imam Ghazali, terutama mengenai etika bisnis, maka kita tidak akan lepas dari teori uang yang dirumuskan oleh beliau.
Tujuh ratus tahun sebelum bapak ekonomi yaitu Adam Smith menulis buku The Wealth of Nations, Al Ghazali telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelasakan, ada kalanya seseorang mempunyai sesuatu yang tidak dibutuhkan dan membutuhkan sesuatu yang dimilikinya. Hal inilah yang menjadi penyebab adanya konsep barter.
Konsep barter mempunyai berbagai kelemahan. Dalam ekonomi barter, transaksi hanya bisa dilakukan apabila kedua belah pihak sama-sama membutuhkan.
Al Ghazali berpendapat, dalam ekonomi barter sekalipun uang dibutuhkan sebagai ukuran nilai suatu barang. Misalnya, onta senilai 100 dinar dan kain senilai sekian dinar. Dengan adanya uang sebagai ukuran nilai barang, uang akan berfungsi pula sebagai media penukaran. Namun uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri. Uang diciptakan untuk melancarkan pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran tersebut. Menurut Al Ghazali uang diibaratkan cermin yang tidak punya warna tetapi dapat merefleksikan semua warna.
Uang tidak memiliki harga, tetapi merefleksikan harga semua barang atau menurut istilah ekonomi klasik, uang tidak memberikan kegunaan langsung (direct utility function), tetapi dapat dilakukan untuk membeli barang yang bermanfaat. Dalam teori ekonomi neo klasik dikatakan kegunaan uang timbul dari daya belinya. Jadi uang memberikan kegunaan tidak langsung (indirect utility function). Apapun isi perdebatan para ekonom tentang konvensi ini, kesimpulannya tetap sama dengan Al Ghazali, bahwa uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri.
Merujuk pada Al Qur’an, Al Ghazali mengecam orang yang menimbun uang. dikatakannya orang tersebut sebagi penjahat. Yang lebih buruk lagi adalah orang yang melebur dinar dan dirham menjadi perhiasan emas dan perak. Mereka dikatakannya sebagai orang yang tidak bersyukur kepada sang pencipta dan kedudukannya lebih rendah daripada orang yang menimbun uang. karena orang yang menimbun uang berarti menarik uang secara sementara dari peredaran, sedangkan meleburnya berarti menarik dari peredaran selamanya.
Dalam teori moneter modern, penimbunan uang berarti memperlambat perputaran uang. ini berarti memperkecil terjadinya transaksi sehingga perekonomian lesu. Adapun peleburan sama saja artinya dengan mengurangi jumlah penawaran uang yang dapat digunakan untuk melakukan transaksi.
Kemudian tentang uang palsu, Al Ghazali mengecam dan beliau mengatakan bahwa mencetak atau mengedarkan uang jenis itu lebih berbahaya daripada mencuri seribu dirham. Alasannya, mencuri adalah dosa, sedangkan mencetak dan mengedarkan uang palsu dosanya akan terus berulang setiap kali uang-uang tersebut digunakan dan akan merugikan siapapun yang menerimanya dalam jangka waktu lama.
D.  Etika Bisnis
Konsep etika bisnis berasal dari bahasa Yunani, yang dalam bentuk tunggal adalah ethos yang artinya kebiasaan, akhlak atau watak. Menurut Issa Rafiq Beekun, etika dapat didefinisikan sebagai seperangkat prinsip moral yang membedakan yang baik dan buruk. Etika adalah bidang ilmu yang bersifat normatif karena ia berperan menentukan apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh seorang individu.
            Etika (akhlak) menurut Al Ghazali adalah keadaan batin yang menjadi sumber lahirnya suatu perbuatan dimana perbuatan itu lahir secara spontan, mudah, tanpa menghitung untung rugi. Orang yang berakhlak baik, ketika menjumpai orang lain yang perlu ditolong maka ia secara spontan menolongnya tanpa sempat memikirkan risiko. Demikian juga orang yang berakhlak buruk secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang terbuka.
Bisnis adalah sebuah aktivitas yang mengarah pada peningkatan nilai tambah melalui proses penyerahan jasa, perdagangan atau pengolahan barang (produksi). Menurut Skinner yang dikutip dari bukunya Muhammad, bisnis adalah pertukaran barang, jasa atau uang yang saling menguntungkan atau memberi manfaat.
Sementara Anoraga Soegiatuti mendefinisikan bisnis sebagai aktivitas jual beli barang dan jasa. Straub&Attner mendefinisikan bisnis adalah suatu organisasi yang menjalankan aktivitas produksi dan penjualan barang dan jasa yang diinginkan oleh konsumen untuk memperoleh profit. Etika dan bisnis kenyataannya dipahami sebagai dua hal yang terpisah bahkan tidak ada kaitan, karena praktek bisnis merupakan kegiatan yang bertujuan maencapai laba sebesar-besarnya dalam situasi persaingan bebas. Sebaliknya etika bila diterapkan dalam dunia bisnis dianggap akan mengganggu upaya mencapai tujuan bisnis.
Namun bukanlah dalam pandangan Al Qur’an bisnis telah menyatu dengan nilai-nilai etika itu sendiri. Al Qur’an secara jelas menggambarkan prilaku-prilaku bisnis yang tidak etis, yang dapat ditelusuri dari muara kebatilan dan ketidakadilan dalam bisnis. Jadi apakah bisnis memerlukan etika? Ketika etika dipahami sebagai seperangkat prinsip moral yang membedakan apa yang benar dari apa yang salah, maka etika diperlukan dalam bisnis.
Sebagaimana diketahui, bisnis adalah suatu serangkaian peristiwa yang melibatkan pelaku bisnis yang memiliki kecenderungan untuk tabrakan kepentingan, saling menghalalkan cara dalam rangka memperoleh keuntungan sebanyak mungkin, bahkan saling membunuh, sehingga perilaku bisnis yang kuat kian mendominasi, sementara yang lemah terperosok disudut-sudut ruang bisnis. Jadi etika bisnis adalah refleksi kritis dan rasional dari perilaku bisnis dengan memperhatikan moralitas dan norma untuk mencapai tujuan.
Dalam menjalankan aktifitas bisnis, Al Ghazali menekankan untuk senantiasa berpedoman terhadap etika bisnis  yang islami, Al Ghazali secara garis besar mengklasifikasikannya menjadi 8 etika, yaitu:
1. Aktifitas bisnis harus berlandaskan unsur keadilan, kebaikan, kebajikan dan tidak adanya kedhaliman.
2. Harus ada kejelaskan antar para pelaku bisnis, sehingga tidak ada kecurangan.
3. Membina relasi bisnis dengan baik dan amanah.
4. Hutang piutang harus segera diselesaikan sebelum waktu yang disepakati.
5. Mengurangi margin dengan menjual lebih murah, dan pada gilirannya meningkatkan keuntungan.
6. Aktifitas bisnis tidak hanya untuk mengejar keuntungan dunia semata, karena keuntungan yang sebenarnya adalah akhirat.
7. Menjauhkan dari transaksi-transaksi yang syubhat.
8. Meraih keuntungan dengan pertimbangan risiko yang ada.

Selain mengungkapkan tentang etika bisnis yang islami, Al Ghazali juga mengungkapkan sekaligus memperingatkan tentang pelanggaran etika yang meliputi:
1. Eksploitasi
2. Hilangnya Kerelaan
3. Penipuan dan Kecurangan
4. Harta yang Batil

Lebih lanjut Al Ghazali menjabarkan pentingnya peran pemerintah dalam menjamin keamanan jalur perdagangan demi kelancaran perdagangan dan pertumbuhan ekonomi.
Walaupun Al Ghazali tidak menjelaskan permintaan dan penawaran dalam terminologi modern, beberapa paragraph dari tulisannya jelas menunjukkan bentuk kurva penawaran dan permintaan. Untuk kurva penawaran yang naik dari kiri bawah ke kanan atas, dinyatakan oleh Al Ghazali sebagai “jika petani tidak mendapatkan pembeli dan barangnya, ia akan menjualnya pada harga yang murah”. Sementara untuk kurva permintaan yang turun dari kiri atas kekanan bawah dijelaskan sebagai “harga dapat diturunkan dengan mengurangi permintaan”.
Mengenai institusi perbankan, Al Ghazali menyebutkan dalam satu nafas antara keperluan adanya pencetakan uang dengan perlunya usaha perbankan. Al Ghazali menulis selanjutnya “kemudian timbul lagi kebutuhan akan adanya percetakan (mata uang) pelukisan dan perhitungan. Kebutuhan itulah menimbulkan perlunya rumah pembuatan mata uang dan kantor perbankan, dalam Ihya Al Ghazali menyebutnya dengan Sharafa dan Shayrafiy atau Ahayarifah”
Karena pekerjaan perbankan selalu menghadapi persoalan tukar menukar keuangan dan senantiasa berada dipinggir kota, Al Ghazali berulang kali memperingatkan agar para banker dan semua orang yang berhubungan dengan bank, berhati-hati terhadap dosa riba, ia menganjurkan agar berhati santun dan tidak kejam, berniat jujur dan memandang usahanya sebagai fardhu kifayah demi keselamatan umat dan kemajuan mereka. Dan mereka membenci usaha perbankan karena memelihara diri dari praktik riba sangatlah sukar. Lagi pula dalam sifatnya yang lebih luas, pekerjaan bank bukan menuju barangnya tetapi pada kemajuannya dan kemajuannya itu baru terjadi (sempurna) keuntungannya kalau pihak langganannya tidak mengerti secara mendalam tentang soal uang. oleh sebab itu, sedikit sekali bank yang selamat dari dosa meskipun mereka sangat berhati-hati”.
Meskipun ada peringatan yang tajam, hal ini tidaklah berarti bahwa Al Ghazali menafikan peranan yang dimainkan oleh institusi perbankan dalam perekonomian. Al Ghazali memasukkan lembaga perbankan dalam usaha-usaha yang bersifat fardhu kifayah, yang harus dicita-citakan sebagai tugas penting bagi masyarakat, seperti disebutkannya lebih lanjut “kalau ditinggalkan, rusaklah ekonomi dan penghidupan umat serta kacaulah keadaan manusia”. Di sini, Al Ghazali tidak membicarakan letak ribanya yang disinyalirnya dalam soal perbankan. Ia hanya memperingatkan agar lembaga penting ini tidak terjerumus kepada larangan Allah. 
Berangkat dari moral yang mendorong seseorang melakukan perbuatan yang baik, etika adalah sebuah sign (rambu-rambu) didalam bertindak yang akan membimbing dan mengingatkan kita untuk melakukan perbuatan yang terpuji yang harsu selalu dipatuhi dan dilaksanakan.
Menimbun uang dari peredaran adalah contoh seseorang yang tidak beretika, bahkan Al Ghazali menyebutnya sebagai penjahat. Karena dengan menimbun jelas akan memperlambat perputaran uang, ini berarti akan memperkecil terjadinya transaksi perekonomian yang lemah, alias bisnispun akan macet.
Sebuah aktivitas perdagangan atau bisnis akan lebih teratur dengan adanya pasar, bagi Al Ghazali pasar merupakan bagian dari “keteraturan alami”. Lagi-lagi riba menjadi masalah yang kompleks, Al Ghazali memperingatkan agar kita tidak berhubungan dengan riba. Di dalam berbisnis kita dituntut agar berhati-hati, santun dan tidak kejam. Jelas, ini semua demi kemaslahatan umat dan kemajuan kita semua dalam berbisnis.


Makalah Ilmu Kalam
 Oleh; Mohammad Ali


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Al-Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebenarnya penyebutan Ahlus sunnah itu sudah dipakai orang sejak jauh sebelum Imam Al-Asy’Ari, yaitu terhadap orang-orang yang mencari penyelesaian masalah-masalah agama yang berpegang teguh kepada nash-nash Al-Qur’an dan Hadis nabi. Mereka ini semula dikenal dengan sebutan Ahlul Hadits, yang sudah dimulai sejak zaman sahabat, dan berlanjut pada masa tabi’in.
Disamping itu ada golongan Ahlur Ra’yi, orang-orang yang sangat berpegang teguh kepada hasil pemikiran. Akal pikirannya yang didahulukan,bukan mencari penyelesaian masalah berdasarkan tuntunan Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Mereka itu ialah orang-orang Mu’tazila, Qadariyah, dan pihak-pihak yang sepaham dengannya. Corak pemikiran Mu’tazilah dalam lapangan akidah bersifay rasional dan terng-terangan menolak Hadits-Hadist Nabi yang menurut pendapatnya berlawanan dengn pemikiran rasional. Maka timbullah kelompok yang menentang paham Mu’tazila yang rasional itu, yang selanjutnya dikenal dengan nama “Ahlus Sunnah”. sementara Sistem  pemikiran Al-Maturidi tidak berbeda banyak dengan Al-Asy’Ari. Banyak segi persamaannya, dan ada juga perbedaannya, Al-Asy’Ari tampak lebih dekat ke paham Jabariyah, sedangkan Al-Maturidi tampak lebih dekat ke paham Qadariyah dan membela kepercayaan-kepercayaan sunni.

1.2  Rumusan Masalah
1.Bagai mana Latar belakang lahirnya faham Asy’ariyah dan Al Maturidiyah?
2.Apa Doktrin-doktrin Teologi Al Asy’ari dan Al Maturidi?


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Latar Belakang Lahirnya Al Asy’Ari
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah. Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah. Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.
Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah dengan menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan—manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
Al-Asy’ari yang semula berpaham Mutazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Abu Ali Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan). Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Rasulullah SAW. Rasulullah memperingatinya agar meninggalkan faham Mu’tazilah.  Dan beliau bersabda dalam mimpinya kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari untuk memikirkan hal itu, Lalu pada hari jum’at, dia naik mimbar di masjid Basrah, secara resmimenyatakaan pendiriannya keluar dari Mu’tazila. Hal itu terjadi pada tahun 300 H. Adapun isi khotbahnya adalah sebagai berikut:
“Wahai masyarakaat, barang siapa mengenal aku, sungguh dia telah mengenalku. Barang siapa yang tidak mengenal aku,maka aku mengenalnya sendiri. Aku adalah Fulan Bin Fulan. Dulu aku berpendapatbahwa Al-Quran adalah Mahluk, bahwa sesungguhnya Allah tidak melihat dengan mata, bahwa perbuatan-perbutan yang jelek aku sendiri yamg memperbuatnya. Aku bertaubat mencabut dan menolak faham-faham Mu’tazilah dan keluar dari padanya”.
Adapun sebab penting mengapa Al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah ialah karena adanya perpecahan yang dialami kaum muslimin yang bisa menghancurkan mereka sendiri, seandainya tidak segera di akhiri.sebagai seorang muslim yang sangat mendambakan atas kepersaruan ummat, dia sangat khawatir kalau Al-Quran dan Al Hadits menjadi kurban dari faham-faham Mu’tazila yang dianggapnya semakin jauh dari kebenaran, menyesatkan dan meresahkan masyarakat. Hal ini disebabkan karena mereka terlalu menonjolkan akal fikirannya. Karena itu, Al Asy’ari lalu mengambil jalan tengah antara golongan rasional (Mu’tazila) dan golongan tekstualis (ahli hadits antropomorfis). Ternyata langkah jalan tengah tersebut dapat diterima oleh mayoritas ummat islam.



2.2 Latar Belakang Lahirnya Al Maturidi
            Aliran ini di nisbatkan kepada Imam Al Maturidi. Nama lengkapnya: Abu Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi lahir di Samarkand pada pertengahan ke dua dari abad ke sembilan Masehi dan meninggal di tahun 944 Masehi. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan faham-faham teologinya banyak persamaannya dengan faham-faham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi Ahli Sunnah dan dikenal dengan nama al-Maturidiyah. Sebagai pengikut Abu Hanifah yang banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaannya, al-Maturidi banyak pula memakai akal dalam teologinya. Oleh karena itu diantara teologinya dan teologi yang ditimbulkan oleh al-Asy’ari terdapat perbedaan, sungguhpun keduanya timbul sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazilah. Al Maturidi itu adalah sebaya dengan Al Asy,Ari. Hanya saja beda tempat tinggal, Al Asy’Ari hidup di Basrah Irak, pengikut mazhab syafi’i, sedangkan Al Maturidi bertepat tinggal di samarkand, pengikut mazhab Hanafi.
Siastem berfikir Al Maturidi tidak berbeda banyak dengan Al Asy’Ari. Banyak segi-segi persamaannya,  mereka berbeda pendapat masalah Takdir. Al Asy’ari tampak lebih dekat kepada Jabariah, sedangkan Al Maturidi tampak lebih dekat kepada Qadariah. Persamaannya, keddua-dua nya gencar menentang Mu’tazila dan membela kepercayaan-kepercayaan yang ada dalam Al-Quran dan Al-Hadits Perbedaan lain,  Al Asy’Ari beroendapat bahwa makrifat kepada Allah adalah berdasarkan tuntunan syara’, sedangkan Al Maturidi berpendapat hal itu diwajibkan oleh akal fikiran.
2.3  Doktrin-Doktrin Teologi Al Asy’Ari
1.      Tuhan danSifat-Sifatnya
Al-Asy’Ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifai-sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an, seperti mempunyai tangan, dan kaki, dan ini tidak boleh diartika secara harfiah,melainkan secara simbolis. Selanjutnya Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik hingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetpi sejauh menyangkut realitasnya(hakikatnya)tidak terpisah dari esensinya.
2.      Kebesaran Dalam Berkehendak
Dari dua pendapat ekstrim, yakni jabariyah yang fatalistik dan menganut faham pradeterminisme semata-mata dan Mu’tazila yang menganut fahamkebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri, Al-Asy’Ari membedakan antara halik dan kabs. Menurutnya, Allah adalah pencipta perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya. Hanya Allah yang mampu menciptakan segala sesuatu.
3.      Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk
Walaupun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazila mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kotradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, serta Mu’tazila mengutamakan akal.
Dalam membedaakan baik buruk pun terjadi perbedaan pendapat antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus bersandar pda wahyu,sedangkan Mu’tazila mendasarkannya pada akal.
4.      Qadimnya Al-Qur’an
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan kodimnya Al-Qur’an. Mu’tazila yang mengatakan bahwa Al-Qur’an diciptakan sehingga tidak Qadim,serta pandangan Hambali dan Zahiriyah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah,?(yang qadim tidak diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata, dan bunyi Al-Qur’an adalah qadim. Dalam rangka mendamaikankedua pendangan yang saling bertentangan itu, Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim.
5.      Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstri, terutama Zuhiriyah, yang mengatakan bahwa Allah dapat diakhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu,ia tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengkari Ru’yatullah(melihat Allah) di Akhirat. Al-Asy’ari yaakian bahwa Allah dapat dilihat di Akhirat, tetapi tidak digambarkan.. kemungkinan Ru’yat dapat terjadi mana kala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bila mana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihatnya.
6.      Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya beda pendapat dalam memandang makna keadilan. Mu’tazila mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
7.      Kedudukan Orang Berdosa
Al-Asy’ari  menolaak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah. Mengingat kenyataaan bahwa iman merupakan lawan kufr,  jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr.
2.4  Doktrin-Doktrin Teologi Al-Maturidi
1.      Akal dan Wahyu
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal. Dalam hal ini, ia sama dengan Al-Asy’ari. Namun porsi yang diberikannya kepada akal lebih besar dari pada yang diberikan oleh Al-Asy’ari.
Menurut Al-Maturidi, mengetahui tuhandan kewajiban mengetahui tuhan dapat diketahui dengan akal.namun akal menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lain. Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri,sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanya mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam hal ini Al-Maturidi sependapat dengan Mu’tazila. Hanya saja bila biala Mu,tazila mengatakan bahwa perintah melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk itu didasarkan pada pengetahuan akal. Dalam persoalan ini Al-Maturidi berbeda pendapat dengan Al-Asy’ari. Menurut Al-Asy’ari, baik atau buruk itu tidak terdapat pada sesuatu itu sendiri. Sesuatu itu dipandang  baik karena perintah syara dan dipandang buruk kerena larangan syara. Pada konteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mu’tazilah dan Al-Asy’air.
2.      Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Telah diuraikan diatas bahwa perbutan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi, pernyataan ini menurut Al-Matuirdi bukan berarti bahwa Tuhan berbuat dan berkehendak dengan sewenang –wenang serta sekehendaknya semata. Hal ini karena qudrat Tuhan tidak sewenang-sewenang, tetapi perbuatan dan kehendaknya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkannya sendiri.
3.      Sifat Tuhan
Al-Maturidi dan Al-Asy’ari. Keduanya berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama, bashar,  dan sebainya.  Al-Asy’ari mengartikan sifat tuhan sebagai suatu yang bukan dzat, melainkan melainkan melekat pada dzat itu sendiri,sedangkan Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensinya dan bukan pula lain dari esensinya.
4.      Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat tuhan. Al-Maturidi lebih lanjut mengataka bahwa tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immateril, namun melihat Tuhan, kelak diakhirat tidak dalam bentuknya, karena keadaan diakhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.
5.      Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi(sabda yng sebenarnya atau makna abtrak). Menurut Al-Maturidi, Mu’tazila memandang Al-Qur’an sebagai yang tersusun dari huruf-huruf dan kata-kata, sedangkan Al-Asy’ari memandangnya dari segi makna abtrak. Kalam Allah Menurut Mu’tazila bukan merupakan sifatnya dan bukan pula dari dzatnya. Al-Qur’an sebagai sabda Tuhan bukan sifat, tetapi perbuatan yang diciptakan Tuhan dan tidak bersifat kekal.pendapat ini diterima Al-Maturidi, hanya saja Al-Maturidi lebih suka menggunakan istilah hadiys sebagai pengganti mahluk untuk sebutan Al-Qur’an. Dalam konteks ini, pendapat Al-Asy’ari juga memiliki kesamaan dengan pendapat Al-Maturidi, karena yang dimaksud Al-Asy’ari dengan sabda adalah makna abtraktidak lain dari kalam nafsi menurut Al-Maturidi dan itu memang sifat kekal Tuhan.
6.      Perbuatan Manuusia
Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak tuhan, kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendaknya sendiri. menurut Al-Maturidi, akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa mengikuti ajaran wahyu berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada diluar kemampuannya kepada akalnya.
Pandangan Al-Maturidi ini tidak jauh berbeda dengan pandangan Mu’tazila yang berpendapat bahwa pengutusan rasul kertngah-tengah ummatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupan.
7.      Pelaku Dosa Besar(Murtakib Al-Kabir)
Menurut Al-Maturidi bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal didalam neraka walaupun iamati sebelum bertobat, hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.
Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali hanya menambah atau mengurangi sifatnya saja.
                                

BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok pahan teologi Asy’ariyah ataupun Maturidiyah.
Asy'ariyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.
Sebenarnya, antara Asy’ariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki beberapa perbedaan, di antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut:
1)      Tentang sifat Tuhan
Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.
2)      Tentang Perbuatan Manusia
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujdukan oleh manusia itu sendiri.
3)      Tentang Al-Quran
Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.
4)      Tentang Kewajiban Tuhan
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.
5)      Tentang Pelaku Dosa Besar
Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.
6)      Tentang Janji Tuhan
Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat jahat.
7)      Tetang Rupa Tuhan
Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah. Sedangkan persamaan dari kedunya, Al-Asy’ari dan Al-Maturidi adalah sama-sama menentang ajaran Mu’tazila.

DAFTAR PUSTAKA

1.      A.Nasir, Sahilun,Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: Rajawali Pers, 1996
2.      A.Nasir, Sahilun,Pemikiran Kalam, Jakarta: Rajawali Pers, 2010
3.      Rozak, Abdul, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2010